BAB
I
PENDAHULUAN
Setiap insan yang hidup
di dunia selalu melakukan aktifitas perekonomian terutama aktifitas konsumsi.
Aktifitas konsumsi tidak akan pernah lepas dari kehidupan kita sehari hari.
Konsumsi ini pun dilakukan atas dasar kebutuhan dan keinginan yang melihat pada
pendapatan setiap masing-masing individunya. Semakin tinggi pendapatan maka
semakin tinggi pula tingkat konsumsinya walau mungkin banyak hal belum terlalu
perlu dikonsumsi.
Terlihat
dari pendapat yang diungkapkan oleh james desenbery bahwa memang tingkat
konsumsi masyarakat tergantung dari pendapatannya bahkan konsumen tidak akan
mengurangi konsumsinya untuk mempertahankan tingkat konsumsi yang tinggi,
inilah yang diajarkan dalam teori konvensional bahwa ketika kita mengkonsumsi
sesuatu bagaimana kita dapat memperoleh keinginan dan kepuasan yang kita
harapkan walau itu bisa saja medzalimi orang lain karena sikap
berlebih-lebihan.
Dalam
Islam hal transaksi ekonomipun diatur terutama dalam hal konsumsi karena
apa-apa yang dianugerahkan kepada Allah di muka bumi ini adalah anugerah
terindah yang harus dimanfaatkan oleh setiap umat guna menuju kesejahteraan
atau falah. Bukan berlebih-lebihan dalam berkonsumsi walaupun kita mempunyai
pendapatan yang banyak sebagaimana diatur dalam Al Quran;
”Makan dan minumlah, namun janganlah berlebih-lebihan. Sesungguhnya
Allah itu tidak menyukai orang-orang yang berlebih-lebihan”
( Q.S 7: 31).
Jelaslah
bahwa ketika kita berkonsumsi pun tidak layak untuk berlebih-lebihan. Dalam
ekonomi Islam hendaknya setiap transaksi perekonomian terutama transaksi
konsumsi, bagaimana
transaksi-transaksi tersebut dapat mendekatkan diri kepada Allah. Bukan
hanya keinginan hawa nafsu yang dperturutkan ketika kita mengkonsumsi barang
karena dalam pendapatan kita pun ada hak-hak orang lain.
Oleh
karena itu, mengingat pentingnya konsumsi dalam ekonomi Islam, maka kami
mencoba membahasnya dalam makalah ini.
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian
Konsumsi dalam Islam
Pengertian
konsumsi dalam ekonomi Islam
adalah memenuhi kebutuhan baik jasmani
maupun rohani sehingga mampu memaksimalkan fungsi kemanusiaannya sebagai hamba
Allah SWT untuk mendapatkan kesejahteraan atau kebahagiaan di dunia dan akhirat
(falah). Dalam melakukan konsumsi maka prilaku konsumen terutama Muslim
selalu dan harus di dasarkan pada Syariah Islam. Dasar prilaku konsumsi itu
antara lain :
1. Al Qur’an surat Al-Maidah (87-88) yang artinya “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu
mengharamkan apa-apa yang baik yang telah Allah halalkan bagi kamu, dan
janganlah melampaui batas. Dan makanlah yang halal lagi baik dari apa yang
Allah telah rezekikan kepadamu, dan bertaqwalah kepada Allah yang kamu
beriman kepada-Nya”.
2. Al Qur’an surat al Isra’ ayat 27-28 yang artinya “Sesungguhnya pemboros-pemboros itu adalah
saudara-saudara syaitan dan syaitan itu adalah sangat ingkar kepada
Tuhannya. Dan jika kamu berpaling dari mereka untuk memperoleh rahmat
dari Tuhanmu yang kamu harapkan, maka katakanlah kepada mereka ucapan yang
pantas”.
3. Hadist yang menyatakan “Makanlah
sebelum lapar dan berhentilah sebelum kenyang” Hadist ini menerangkan
bahwa Islam mengajarkan pada manusia untuk menggunakan barang dan jasa yang
dibutuhkan secukupnya (hemat) tidak rakus atau serakah sebab keserakahanlah
yang menghancurkan bumi ini.
Berdasarkan
ayat Al Qur’an dan Hadist di atas dapat dijelaskan bahwa yang dikonsumsi itu
adalah barang atau jasa yang halal, bermanfaat, baik, hemat dan tidak
berlebih-lebihan (secukupnya). Tujuan mengkonsumsi dalam Islam adalah untuk
memaksimalkan maslahah, (kebaikan) bukan memaksimalkan kepuasan (maximum utility)[1]
seperti di dalam ekonomi konvensional. Utility merupakan kepuasan yang
dirasakan seseorang yang bisa jadi kontradiktif dengan kepentingan orang lain.
Sedangkan maslahah adalah
kebaikan yang dirasakan seseorang bersama pihak lain.
Dalam
memenuhi kebutuhan, baik itu berupa barang maupun dalam bentuk jasa atau
konsumsi, dalam ekonomi Islam harus menurut syariat Islam. Konsumsi dalam Islam
bukan berarti “memenuhi”
keinginan libido saja, tetapi harus disertai dengan “niat” supaya bernilai
ibadah. Dalam Islam, manusia bukan homo
economicus tapi homo Islamicus. Homo Islamicus yaitu
manusia ciptaan Allah SWT yang harus melakukan segala sesuatu sesuai dengan
syariat Islam, termasuk prilaku konsum-sinya.
Dalam
ekonomi Islam semua aktivitas manusia yang bertujuan untuk kebaikan merupakan
ibadah, termasuk konsumsi. Karena itu menurut Yusuf Qardhawi (1997), dalam
melakukan konsumsi, maka konsumsi tersebut harus dilakukan pada barang yang
halal dan baik dengan cara berhemat (saving), berinfak (mashlahat) serta men-jauhi judi, khamar, gharar dan spekulasi. Ini berarti bahwa prilaku konsumsi yang dilakukan
manusia (terutama Muslim) harus menjauhi kemegahan, kemewahan, kemubadziran dan
menghindari hutang. Konsumsi yang halal itu adalah konsumsi terhadap barang
yang halal, dengan proses yang halal dan cara yang halal, sehingga akan
diperoleh manfaat dan berkah.
Parameter
kepuasan seseorang (terutama Muslim) dalam hal konsumsi tentu saja parameter
dari definisi manusia terbaik yang mempunyai keimanan yang tinggi, yaitu
memberikan kemanfaatan bagi lingkungan. Manfaat lingkungan ini merupakan amal
shaleh. Artinya dengan mengkonsumsi barang dan jasa selain mendapat manfaat dan
berkah untuk pribadi juga lingkungan tetap terjaga dengan baik bukan sebaliknya.
Lingkungan disini menyangkut masyarakat dan alam. Menyangkut masyarakat, maka
setiap Muslim dalam mengkonsumsi tidak hanya memperhatikan kepentingan pribadi
tetapi juga kepentingan orang lain, tetangga, anak yatim dan lain sebagainya.
Mengkonsumsi
barang dan jasa merupakan asumsi yang given
karena sekedar ditujukan untuk dapat hidup dan beraktifitas. Maksudnya bahwa
konsumsi dilakukan agar manusia tetap hidup, bukan hidup untuk mengkonsumsi.
Dalam memenuhi tuntutan konsumsi, setiap orang diminta untuk tetap menjaga
adab-adab Islam dan melihat pengaruhnya terhadap kesejahteraan masa depan.
Islam
melarang umatnya melakukan konsumsi secara berlebihan. Sebab konsumsi diluar
dari tingkat kebutuhan adalah pemborosan. Pemborosan adalah perbuatan yang
sia-sia dan menguras sumber daya alam secara tidak terkendali. Sebagai contoh,
apabila prilaku konsumsi seseorang bersifat boros, misalnya saja pada saat
makan seseorang masih menyisakan makanannya sekitar 15% dari yang
dikonsumsinya. Sisa tersebut dianggap setara dengan 5 gram beras dan jika dari
6,5 milyar penduduk dunia ternyata 5% saja melakukan hal yang demikian, maka
sisa makanan yang terbuang sia-sia per hari nya yaitu sekitar 5 gram x 2 kali
makan sehari x (0,05 x 3,25 milyar) = 16.250 ton beras. Artinya makanan yang
terbuang sia-sia per hari adalah 16.250 ton dan dalam setahun sebanyak 5,850
juta ton setara beras. Selain itu berapa banyak tenaga yang terbuang sia-sia,
termasuk energi lain yang dibutuhkan untuk memproduksi makan yang terbuang
tadi. Dengan demikian jelas bahwa pemborosan akan mempercepat kehancuran bumi
ini.
Seorang
muslim sejati, meskipun memiliki sejumlah harta, ia tidak akan memanfaatkannya
sendiri, karena dalam Islam setiap muslim yang mendapat harta diwajib-kan untuk
mendistribusikan kekayaan pribadinya itu kepada masyarakat yang membutuhkan
(miskin) sesuai dengan aturan syariah yaitu melalui Zakat, Infak, Sedekah
dan Wakaf (ZISWA). Masyarakat yang tidak berpunya atau miskin berhak untuk
menerima ZISWA tersebut sebagai bentuk distribusi kekayaan. Intinya bahwa
tingkat konsumsi seseorang itu (terutama Muslim) didasarkan pada tingkat
pendaapatan dan keimanan. Semakin
tinggi pendapatan dan keimanan sesorang maka semakin tinggi pengeluarannya
untuk hal-hal yang bernilai ibadah sedangkan pengeluaran untuk memenuhi
kebutuhan dasar tidak akan banyak pertambahannya bahkan cenderung turun.
B.
Perilaku
Terhadap Konsumen
Perilaku konsumen adalah
kecenderungan konsumen dalam melakukan konsumsi, untuk memaksimalkan
kepuasanya. Konsumen mencapai keseimbanganya ketika dia memaksimalkan
pemanfaatanya sesuai dengan keterbatasan penghasilan, yakni: ketika rasio-rasio
pemanfaatan-pemanfaatan marginal dari berbagai komoditas sama dengan
rasio-rasio harga-harga uangnya masing-masing.[2]
Dalam
paradigma ekonomi konvensional perilaku konsumen didasari pada
prinsip-prinsip dasar utilitarianisme dan rasionalitas
semata. Prinsip ini menuntut adanya perkiraan dan pengetahuan mengenai akibat
yang dilakukan.Prinsip
ini mendorong konsumen untuk memaksimalkan nilai guna dengan usaha yang paling
minimal dengan melupakan nilai-nilai kemanusian. Akibatnya tercipta
individualisme dan self interest. Maka
keseimbangan umum tidak dapat dicapai dan terjadilah kerusakan dimuka bumi.[3]
Berbeda dengan Islam yang mengingatkan bahwa harta
yang dimiliki manusia adalah titipan Allah, bukan tujuan namun sarana yang
digunakan untuk memenuhi kebutuhan manusia baik jasmani dan rohani sehingga
mampu memaksimalkan fungsi kemanusiaannya sebagai hamba dan khalifah Allah
untuk menggapai kebahagiaan dunia dan akhirat (Q.S Al-Hadid : 7, Hud : 61) .
Perilaku konsumen Islami didasarkan atas
rasionalitas yang disempurnakan dan mengintegrasikan keyakinan dan kebenaran
yang melampaui rasionalitas manusia yang sangat terbatas berdasarkan Alquran
dan Sunnah. Islam memberikan konsep pemuasan kebutuhan dibarengi kekuatan
moral, ketiadaan tekanan batin dan adanya keharmonisan hubungan antara
sesama.
Ekonomi Islam bukan hanya berbicara tentang pemuasan
materi yang bersifat fisik, tapi juga berbicara cukup luas tentang pemuasan
materi yang bersifat abstrak, pemuasan yang lebih berkaitan dengan posisi manusia
sebagai hamba Allah SWT.
Dapat kita simpulkan Perilaku
konsumen dalam ekonomi islam diantaranya harus meliputi :
1.
Prinsip syariah,
yaitu menyangkut dasar syariat yang harus terpenuhi dalam melakukan konsumsi di
mana terdiri dari: Prinsip akidah, yaitu hakikat konsumsi adalah sebagai
sarana ketaatan untuk beribadah sebagai perwujudan keyakinan manusia sebagai
makhluk dan khalifah yang nantinya diminta pertanggungjawaban oleh Pencipta.
(QS. Al-An’am : 165). Prinsip ilmu, yaitu seseorang ketika akan mengkonsumsi
harus mengetahui ilmu tentang barang yang akan dikonsumsi dan hukum-hukum yang
berkaitan dengannya apakah merupakan sesuatu yang halal atau haram baik
ditinjau dari zat, proses, maupun tujuannya. Prinsip amaliah, sebagai
konsekuensi akidah dan ilmu yang telah diketahui tentang konsumsi Islami
tersebut, seseorang dituntut untuk menjalankan apa yang sudah diketahui, maka
dia akan mengkonsumsi hanya yang halal serta menjauhi yang haram dan
syubhat.
2.
Prinsip
kuantitas, yaitu sesuai dengan batas-batas kuantitas yang telah dijelaskan
dalam syariat Islam, di antaranya: Sederhana, yaitu mengkonsumsi secara
proporsional tanpa menghamburkan harta, bermewah-mewah, mubazir, namun tidak
juga pelit (QS. Al-Isra: 27-29, Al-A’raf:31). Sesuai antara pemasukan dan
pengeluaran, artinya dalam mengkonsumsi harus disesuaikan dengan kemampuan yang
dimilikinya, bukan besar pasak daripada tiang. Menabung dan investasi,
artinya tidak semua kekayaan digunakan untuk konsumsi tapi juga disimpan untuk
kepentingan pengembangan kekayaan itu sendiri
3.
Prinsip
prioritas, di mana memperhatikan urutan kepentingan yang harus diprioritaskan
agar tidak terjadi kemudharatan, yaitu: Primer, adalah konsumsi dasar yang
harus terpenuhi agar manusia dapat hidup dan menegakkan kemaslahatan dirinya
dunia dan agamanya serta orang terdekatnya, seperti makanan
pokok. Sekunder, yaitu konsumsi untuk menambah atau meningkatkan tingkat
kualitas hidup yang lebih baik, jika tidak terpenuhi maka manusia akan
mengalami kesusahan. Tersier, yaitu konsumsi pelengkap manusia.
4.
Prinsip sosial,
yaitu memperhatikan lingkungan sosial di sekitarnya sehingga tercipta
keharmonisan hidup dalam masyarakat, di antaranya:Kepentingan umat, yaitu
saling menanggung dan menolong sehingga Islam mewajibkan zakat
bagi yang mampu juga menganjurkan sadaqah, infaq dan wakaf. Keteladanan,
yaitu memberikan contoh yang baik dalam berkonsumsi baik dalam
keluarga atau masyarakat . Tidak membahayakan orang yaitu dalam
mengkonsumsi justru tidak merugikan dan memberikan madharat ke orang lain
seperti merokok di tempat umum.[4]
C. Prinsip
Konsumsi dalam Islam
Menurut
Islam, anugerah-anugerah Allah adalah milik semua manusia. Suasana yang
menyebabkan sebagian diantara anugerah-anugerah itu berada di tangan
orang-orang tertentu tidak berarti bahwa mereka dapat memanfaatkan
anugerah-anugerah itu untuk mereka sendiri. Orang lain masih berhak atas
anugerah-anugerah tersebut walaupun mereka tidak memperolehnya. Dalam Al-Qur`an
Allah SWT mengutuk dan membatalkan argument yang dikemukakan oleh orang kaya
yang kikir karena ketidaksediaan mereka memberikan bagian atau miliknya ini.[5]
Bila dikatakan kepada mereka, “ belanjakanlah
sebagian rizqi Allah yang diberikan-Nya kepadamu,” orang-orang kafir itu
berkata, “ apakah kami harus memberi makan orang-orang yang jika Allah
menghendaki akan diberi-Nya makan? Sebenarnya kamu benar-benar tersesat.” ( QS
36 : 47 )
Dalam Ekonomi Islam, konsumsi diakui sebagai salah
satu perilaku ekonomi dan kebutuhan asasi dalam kehidupan manusia. Perilaku
konsumsi diartikan sebagai setiap perilaku seorang konsumen untuk menggunakan
dan memanfaatkan barang dan jasa untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Namun Islam
memberikan penekanan bahwa fungsi perilaku konsumsi adalah untuk memenuhi
kebutuhan manusia baik jasmani dan ruhani sehingga mampu memaksimalkan fungsi
kemanusiaannya sebagai hamba dan khalifah Allah untuk mendapatkan kebahagiaan
dunia dan akherat.[6]
Dalam ekonomi Islam konsumsi dikendalikan oleh lima prinsip
dasar sebagai berikut :
1.
Prinsip Keadilan.
Syarat ini mengandung arti ganda bahwa rezeki yang dikonsumsi haruslah yang halal dan
tidak dilarang hukum. Misalnya dalam soal makanan dan minuman,
yang terlarang adalah darah, daging binatang yang telah mati sendiri, daging
babi, daging binatang yang ketika disembelih diserukan nama selain nama Allah,
( Q.S Al- Baqarah 2 : 173 ).
Tiga golongan pertama dilarang karena hewan-hewan ini berbahaya bagi tubuh
sebab yang berbahaya bagi tubuh tentu berbahaya pula bagi jiwa. Larangan
terakhir berkaitan dengan segala sesuatu yang langsung membahayakan moral dan
spiritual, karena seolah-olah hal ini sama dengan mempersekutukan tuhan.
Kelonggaran diberikan bagi orang-orang yang terpaksa, dan bagi orang yang pada
suatu ketika tidak mempunyai makanan untuk dimakan. Ia boleh makan makanan yang
terlarang itu sekedar yang dianggap perlu untuk kebutuhannya ketika itu saja.
2.
Prinsip Kebersihan.
Obyek konsumsi haruslah sesuatu yang bersih dan
bermanfaat. Yaitu sesuatu yang baik, tidak kotor, tidak najis, tidak
menjijikkan, tidak merusak selera, serta memang cocok untuk dikonsumsi manusia.
3.
Prinsip Kesederhanaan.
Konsumsi haruslah dilakukan secara wajar, proporsional,
dan tidak berlebih-lebihan. Prinsip-prinsip tersebut tentu berbeda dengan
ideologi kapitalisme dalam berkonsumsi yang menganggap konsumsi sebagai suatu
mekanisme untuk menggenjot produksi dan pertumbuhan. Semakin banyak permintaan
maka semakin banyak barang yang diproduksi. Disinilah kemudian timbul
pemerasan, penindasan terhadap buruh agar terus bekerja tanpa mengenal batas
waktu guna memenuhi permintaan. Dalam Islam justru berjalan sebaliknya:
menganjurkan suatu cara konsumsi yang moderat, adil dan proporsional. Intinya,
dalam Islam konsumsi harus diarahkan secara benar dan proporsional, agar
keadilan dan kesetaran untuk semua bisa tercipta.
4.
Prinsip kemurahan hati.
Makanan, minuman, dan segala sesuatu halal yang telah
disediakan Tuhan merupakan bukti kemurahan-Nya. Semuanya dapat kita konsumsi dalam rangka
kelangsungan hidup dan kesehatan yang lebih baik demi menunaikan perintah
Tuhan. Karenanya sifat konsumsi manusia juga harus dilandasi dengan kemurahan
hati. Maksudnya, jika memang masih banyak orang yang kekurangan makanan dan
minuman maka hendaklah kita sisihkan makanan yang ada pada kita kemudian kita
berikan kepada mereka yang sangat membutuhkannya.
5.
Prinsip moralitas.
Kegiatan konsumsi itu haruslah dapat meningkatkan atau
memajukan nilai-nilai moral dan spiritual. Seorang muslim diajarkan untuk
menyebutkan nama Allah sebelum makan, dan menyatakan terimakasih setelah makan
adalah agar dapat merasakan kehadiran ilahi pada setiap saat memenuhi kebutuhan
fisiknya. Hal ini penting artinya karena Islam menghendaki perpaduan
nilai-nilai hidup material dan spiritual yang berbahagia.[7]
BAB
III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Pengertian konsumsi dalam ekonomi Islam adalah memenuhi kebutuhan baik jasmani maupun rohani sehingga mampu
memaksimalkan fungsi kemanusiaannya sebagai hamba Allah SWT untuk mendapatkan
kesejahteraan atau kebahagiaan di dunia dan akhirat (falah).
Berdasarkan ayat Al Qur’an dan Hadist di
atas dapat dijelaskan bahwa yang dikonsumsi itu adalah barang atau jasa yang
halal, bermanfaat, baik, hemat dan tidak berlebih-lebihan (secukupnya).
Perilaku konsumen
adalah kecenderungan konsumen dalam melakukan konsumsi, untuk memaksimalkan
kepuasanya. Perilaku konsumen dalam ekonomi islam diantaranya
harus meliputi : Prinsip syariah, prinsip kuantitas, prinsip prioritas, prinsip
sosial. Dalam ekonomi Islam konsumsi
dikendalikan oleh lima prinsip dasar sebagai berikut : Prinsip keadilan, prinsip kebersihan, prinsip kesederhanaan,
prinsip kemurahan hati dan priinsip moralitas.
B. Saran
Dalam makalah ini, penulis menyadari bahwa masih
banyak kekurangan yang terdapat dalam isi makalah ini. Oleh karena itu penulis
sangat mengharapkan saran dari pembaca agar makalah ini bisa sempurna dengan
arahan dan bimbingan dari pembaca.
Semoga makalah ini dapat menambahkan pengetahuan
bagi kita semua dan apa yang diperoleh bermanfaat bagi kita semua.
DAFTAR
PUSTAKA
Mannan. 1997.Teori dan Praktek Ekonomi Islam.(Yogyakarta: Dana Bhakti Prima Yasa)
Nasution Edwin. 2010. Pengenalan
Ekslusif Ekonomi Islam.(Jakarta: Kencana Prenada Media Group)
Pusat
Pengkajian dan Pengembangan Ekonomi Islam (P3EI). Ekonomi Islam.(Jakata: Rajawali Pers)
Rianto Nur. 2011.Dasar-dasar Ekonomi
Islam. (Solo: PT. Era Adicitra Intermedia)
Solihan Asmuni. 2010. Fikih Ekonomi
Umar bin AI-Kaththab.(Jakarta:Khalifa)
Suprayitno Eko. 2005.Ekonomi Islam.
(Yogyakarta: Graha Ilmu)
PT Rajagrafindo Persada)
[2]
Nur Rianto, Dasar-dasar
Ekonomi Islam, (Solo: PT. Era Adicitra Intermedia, 2011), hlm 14
[3] Edwin Nasution, Pengenalan
Ekslusif Ekonomi Islam, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2010),
hlm 61
[4]
Asmuni Solihan ,Fikih
Ekonomi Umar bin AI-Kaththab, (Jakarta: Khalifa, 2010), hlm 182-185
[5]
Eko Suprayitno, Ekonomi
Islam,( Yogyakarta: Graha Ilmu, 2005), hlm 92
[7]
Eko Suprayitno, Ekonomi
Islam, (Yogyakarta: Graha Ilmu, 2005), hlm 93-94
Ass wr wb
BalasHapusmbak hanik mnta ilmu nya buat refrensi
insyallah berkah