PEMBAHASAN
IKHTIKAR
A. Pengertian
Ikhtikar
Al
Ihtikar الاحتكار berasal dari kata يحكر-حكرا- حكر yang berarti aniaya,
sedangkan الحكر berarti ادخار
الطعام ( menyimpan
makanan, dan kata الحكرة berarti الجمع و الإمساك (mengumpulkan dan menahan). Ihtikar juga
berarti penimbunan. Sedang secara istilah ihktikar berarti
membeli barang pada saat lapang lalu menimbunnya supaya barang tersebut langka
di pasaran dan harganya menjadi naik. Jadi, Ihtikar atau
penimbunan barang adalah membeli sesuatu dengan jumlah besar, agar barang
tersebut berkurang di pasar sehingga harganya (barang yang ditimbun tersebut)
menjadi naik dan pada waktu harga menjadi naik baru kemudian dilepas (dijual)
ke pasar, sehingga mendapatkan keuntungan yang berlipat ganda.
Secara
esensi definisi di atas dapat dipahami bahwa ikhtikar yaitu: Membeli
barang ketika harga mahal,menyimpan barang tersebut sehingga kurang persediaannya
di pasar. Kurangnya persediaan barang membuat permintaan naik dan harga juga
naik. Penimbun menjual barang yang ditahannya ketika harga telah melonjak. Penimbunan
barang menyebabkan rusak nya mekanisme pasar.
Ikhtikar
secara etimologis berarti menahan makanan agar harganya mahal. Adapun ikhtikar secara
terminologis adalah jika seseorang membeli sesuatu pada saat harga mahal,
kemudian ia menimbunnya untuk di jual pada harga lebih mahal ketika kebutuhan
terhadap barang itu mendesak.[1]
Ikhtikar
artinya menimbun barang agar yang beredar di masyarakat berkurang, lalu
harganya naik. Yang menimbun memperoleh keuntungan besar, sedang masyarakat di
rugikan. Menimbun dengan cara demikian haram hukumnya dalam islam. Rosulullah
saw melarangnya, karena perbuatan demikian di dorong oleh nafsu serakah, loba
dan tamak, serta mementingkan diri sendiri dengan merugikan orang banyak. Selain
itu juga membuktikan kerendahan moral serta mental.[2]
B. Dasar
Hukum Ikhtikar
Islam mengharamkan orang menimbun dan mencegah harta dari
peredaran. Islam mengancam mereka yang menimbunnya dengan siksa yang pedih di
hari kiamat. Allah subhaanahu wa ta’aala berfirman dalm surat At Taubah ayat
34-35:
۞ يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِنَّ كَثِيرًا مِّنَ
الْأَحْبَارِ وَالرُّهْبَانِ لَيَأْكُلُونَ أَمْوَالَ النَّاسِ بِالْبَاطِلِ
وَيَصُدُّونَ عَن سَبِيلِ اللَّهِ ۗ وَالَّذِينَ يَكْنِزُونَ الذَّهَبَ
وَالْفِضَّةَ وَلَا يُنفِقُونَهَا فِي سَبِيلِ اللَّهِ فَبَشِّرْهُم بِعَذَابٍ
أَلِيمٍ
(Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya sebagian
besar dari orang-orang alim Yahudi dan
rahib-rahib Nasrani benar-benar memakan) yakni
mengambil (harta benda orang lain dengan cara yang batil) seperti
menerima suap dalam memutuskan hukum (dan mereka menghalang-halangi) manusia (dari
jalan Allah) dari agama-Nya. (Dan orang-orang) lafal ini menjadi
mubtada/permulaan kata (yang menyimpan emas dan perak dan tidak
menafkahkannya) dimaksud ialah menimbunnya (pada jalan Allah) artinya
mereka tidak menunaikan hak zakatnya dan tidak membelanjakannya ke jalan kebaikan (maka
beritahukanlah kepada mereka) beritakanlah kepada mereka (akan siksa
yang pedih) yang amat menyakitkan. (34)
Pada ayat ini
diterangkan bahwa kebanyakan pemimpin dan pendeta orang Yahudi dan Nasrani
telah dipengaruhi oleh cinta harta dan pangkat. Karena itu mereka tidak
segan-segan menguasai harta orang lain dengan jalan yang tidak benar dan dengan
terang-terangan menghalang-halangi manusia beriman kepada agama yang dibawa
oleh Nabi Muhammad saw. Sebab kalau mereka membiarkan pengikut mereka
membenarkan dan menerima dakwah Islam tentulah mereka tidak dapat lagi bersikap
sewenang-wenang terhadap mereka dan akan hilanglah pengaruh dan kedudukan yang
mereka nikmati selama ini.
يَوْمَ يُحْمَىٰ عَلَيْهَا فِي نَارِ جَهَنَّمَ
فَتُكْوَىٰ بِهَا جِبَاهُهُمْ وَجُنُوبُهُمْ وَظُهُورُهُمْ ۖ هَٰذَا مَا
كَنَزْتُمْ لِأَنفُسِكُمْ فَذُوقُوا مَا كُنتُمْ تَكْنِزُون
(Pada hari dipanaskan emas dan perak itu dalam neraka
Jahanam lalu disetrika) dibakar (dengannya dahi, lambung dan punggung
mereka) bakaran emas-perak itu merata mengenai seluruh kulit tubuh mereka
lalu dikatakan kepada mereka ("Inilah harta benda kalian yang kalian
simpan untuk diri kalian sendiri, maka rasakanlah sekarang akibat dari apa yang
kalian simpan itu") sebagai pembalasannya. (35)
Dalam ayat ini Allah
menerangkan bahwa orang-orang yang mengumpulkan harta dan menyimpannya tanpa
dinafkahkan sebagiannya pada jalan Allah (dibayarkan zakat) bagi orang mukmin
akan dimasukkan ke dalam neraka pada hari akhirat dan di dalam neraka itu semua
harta itu akan dipanaskan dengan api lalu disetrikakan pada dahi pemiliknya
begitu pula lambung dan punggungnya, lalu diucapkan kepadanya inilah harta
bendamu yang kamu simpan dahulu.
Asbabun nuzul
ayat 34
Dari Ibnu Abbas, ia menerangkan
bahwa ayat ini diturunkan berkenaan dengan para pendeta dari Ahli kitab. Mereka
mengambil suap berupa makanan dari masyarakat awam. Sedangkan, pengunjang ayat
ini diturunkan berkenaan dengan Ahli kitab dan kaum muslim yang menimbun harta
mereka. (H.R Ibnu Abi Hatim).[3]
Nabi saw bersabda:
مَنِ
احْتَكَرَ فَهُوَ خَاطِئٌ
“orang yang berbuat
menimbun(ikhtikar) berarti berbuat salah”. (HR Muslim dan At-Turmudzi)
Kesimpulan hadis: bahwa
perbuatan ikhtikar (menimbun barang) haram hukumnya.
C. Pendapat
Para Ulama
Ulama berbeda pendapat mengenai jenis barang yang
ditimbun, yaitu :
Ulama
Malikiyah, sebagian Ulama Hanabilah, Abu Yusuf dan Ibn Abidin ( pakar fiqh
Hanafi) menyatakan bahwa larangan ihtikar tidak terbatas pada
makanan, pakaian dan hewan, tetapi meliputi seluruh produk yang diperlukan
masyarakat. Menurut mereka, yang menjadi illat ( motifasi
hukum ) dalam larangan melakukan ihtikar itu adalah “ kemudharatan
yang menimpa orang banyak”. Oleh sebab itu kemudharatan yang menimpa orang
banyak tidak terbatas pada makanan, pakaian dan hewan, tetapi mencakup seluruh
produk yang diperlukan orang banyak.
Imam
Asy Syaukani tidak merinci produk apa saja yang disimpan sehingga
seseorang dapat dikatakan sebagai muhtakir jika barang itu untuk dijual
ketika harga melonjak. Bahkan imam Syaukani tidak membedakan apakah penimbunan
itu terjadi ketika pasar berada dalam keadaan normal (pasar stabil),
ataupun dalam keadaan pasar tidak stabil.
Sebagian
ulama Hanabilah dan Imam al Ghazali mengkhususkan keharaman ihtikar pada
jenis produk makanan saja. Alasan mereka karena yang dilarang dalam nash
hanyalah makanan.
Sebagian
ulama mempersempit larangan menimbun. Imam Syafii dan Imam Ahmad berpendapat,
larangan menimbun hanya bagi bahan pangan sebab merupakan bahan pokok rakyat. Ada
pula ulama yang memperluas larangan menimbun bagi segala macam barang, sebab
ikhtikar mengakibatkan naiknya arga dan ini sikap yang tidak adil. Tetapi ada
yang berpendapat, kalau hanya menimbun hasil panen sendiri atau barang hasil
produksi sendiri maka tidak ada halangan. Pengertian menimbun mencakup pula hak
monopoli perdagangan atau industry peroranagn sehinnga rakyat di rugikan.
Menimbun
yang di haramkan, menurut kebanyakan ahli fiqih ialah bila memenuhi tiga kriteria:
- Barang yang ditimbun melebihi kebutuhannya dan kebutuhan keluarga untuk masa satu tahun penuh. Kita hanya boleh menyimpan barang untuk keperluan kurang dari satu tahun sebagaimana pernah dilakukan Rasulullah SAW.
- Menimbun untuk dijual, kemudian pada waktu harganya membumbung tinggi dan kebutuhan rakyat sudah mendesak baru dijual sehingga terpaksa rakyat membelinya dengan harga mahal.
- Yang ditimbun (dimonopoli) ialah kebutuhan pokok rakyat seperti pangan, sandang dan lain-lain. Apabila bahan-bahan lainnya ada di tangan banyak pedagang, tetatpi tidak termasuk bahan pokok kebutuhan rakyat dan tidak merugikan rakyat. maka itu tidak termasuk menimbun.
Syekh
Mahmud Syaltut Almarhum dalam bukunya Min Taujihaatil Islam menulis:
“
Mereka tegolong penjahat karena manipulasi harga dengan menjual lebih dari
harga umum, kerena megambil kesempatan memanfaatkan kebutuhan orang lain dan
melakukan hal itu untuk memperoleh keuntungan sebanyak-banyaknya. Juga
perbuatan yang diharamkan dan pelakunya tergolong penjahat bila mencampur
barang dengan barang yang muunya lebih rendah atau mencampur susu dengan air
supaya bertambah berat timbangannya”.[4]
D. Hikmah
Larangan Ikhtikar
Imam
Nawawi menjelaskan hikmah dari larangan ikhtikar adalah mencegah hal-hal yang
menyulitkan manusia secara umum, oleh karenanya para ulama sepakat apabila ada
orang memiliki makanan lebih, sedangkan manusia sedang kelaparan dan tidak ada
makanan kecuali yang ada pada orang tadi, maka waib bagi orang tersebut menjual
atau memberikan dengan cuma-cuma makanannya kepada manusia supaya manusia tidak
kesulitan. Demikian juga apabila ada yang menimbun selain bahan makanan(seperti
pakaian musim dingin dan sebagainya) sehingga manusia kesulitan mendapatkannya,
dan membahayakan mereka, maka hal ini dilarang dalam islam.[5]
Menimbun
harta maksudnya membekukannya, menahannya dan menjauhkannya dari peredaran.
Padahal, jika harta itu disertakan dalam usaha-usaha produktif seperti dalam
perencanaan produksi, maka akan tercipta banyak kesempatan kerja yang baru dan
mengurangi pengangguran. Kesempatan-kesempatan baru bagi pekerjaan ini bisa
menambah pendapatan dan daya beli masyarakat sehingga bisa mendorong
meningkatnya produksi, baik itu dengan membuat rencana-rencana baru maupun
dengan memperluas rencana yang telah ada. Dengan demikian, akan tercipta
situasi pertumbuhan dan perkembangan ekonomi dalam masyarakat.
Penimbunan
barang merupakan halangan terbesar dalam pengaturan persaingan dalam pasar
Islam. Dalam tingkat internasional, menimbun barang menjadi penyebab terbesar
dari krisis yang dialami oleh manusia sekarang, yang mana beberapa negara kaya
dan maju secara ekonomi memonopoli produksi, perdagangan, bahan baku kebutuhan
pokok. Bahkan, negara-negara tersebut memonopoli pembelian bahan-bahan baku
dari negara yang kurang maju perekonomiannya dan memonopoli penjulan komoditas
industri yang dibutuhkan oleh negara-negara tadi. Hal itu menimbulkan bahaya
besar terhadap keadilan distribusi kekayaan dan pendapatan dalam tingkat dunia.
Imam
Nawawi menjelaskan hikmah dari larangan ikhtikar adalah mencegah hal-hal yang
menyulitkan manusia secara umum, oleh karenanya para ulama sepakat apabila ada
orang memiliki makanan lebih, sedangkan manusia sedang kelaparan dan tidak ada
makanan kecuali yang ada pada orang tadi, maka waib bagi orang tersebut menjual
atau memberikan dengan cuma-cuma makanannya kepada manusia supaya manusia tidak
kesulitan. Demikian juga apabila ada yang menimbun selain bahan makanan(seperti
pakaian musim dingin dan sebagainya) sehingga manusia kesulitan mendapatkannya,
dan membahayakan mereka, maka hal ini dilarang dalam islam.
KESIMPULAN
Ikhtikar
secara etimologis berarti menahan makanan agar harganya mahal. Adapun ikhtikar
secara terminologis adalah jika seseorang membeli sesuatu pada saat harga mahal,
kemudian ia menimbunnya untuk di jual pada harga lebih mahal ketika kebutuhan
terhadap barang itu mendesak.
Islam mengharamkan orang menimbun dan mencegah harta dari
peredaran. Islam mengancam mereka yang menimbunnya dengan siksa yang pedih di
hari kiamat.
Menimbun
yang di haramkan, menurut kebanyakan ahli fiqih ialah bila memenuhi tiga
kriteria:
- Barang yang ditimbun melebihi kebutuhannya dan kebutuhan keluarga untuk masa satu tahun penuh. Kita hanya boleh menyimpan barang untuk keperluan kurang dari satu tahun sebagaimana pernah dilakukan Rasulullah SAW.
- Menimbun untuk dijual, kemudian pada waktu harganya membumbung tinggi dan kebutuhan rakyat sudah mendesak baru dijual sehingga terpaksa rakyat membelinya dengan harga mahal.
- Yang ditimbun (dimonopoli) ialah kebutuhan pokok rakyat seperti pangan, sandang dan lain-lain. Apabila bahan-bahan lainnya ada di tangan banyak pedagang, tetatpi tidak termasuk bahan pokok kebutuhan rakyat dan tidak merugikan rakyat. maka itu tidak termasuk menimbun.
DAFTAR PUSTAKA
Dr.
Mardani. 2011. Ayat- Ayat dan Hadis Ekonomi Syariah. (Jakarta:Rajawali
Pers)
Basyarahl,
Salim, H.A. Aziz. 1992. 22 Masalah Agama. (Jakarta: Gema insani Pres)
AL-HAKAM
Al-Quran Tafsi Perkata. 2014. (Jakarta: PT Suara Agung)
Ali,
Muhammad, Edisi 7 Th.ke-7 1429 H, e-book Hukum Menimbun Barang Dagangan,
(Gresik:Al-Furqon)
Ridwan,
ikhtikar, http://ridwan202.wordpress.com/istilah-agama/ikhtikar/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar