Senin, 07 November 2016

IKHTIKAR (PENIMBUNAN BARANG)



PEMBAHASAN
IKHTIKAR

A.      Pengertian Ikhtikar
Al Ihtikar الاحتكار berasal dari kata يحكر-حكراحكر yang berarti aniaya, sedangkan   الحكر  berarti  ادخار الطعام ( menyimpan makanan, dan kata الحكرة berarti الجمع و الإمساك (mengumpulkan dan menahan). Ihtikar juga berarti penimbunan. Sedang secara istilah ihktikar berarti membeli barang pada saat lapang lalu menimbunnya supaya barang tersebut langka di pasaran dan harganya menjadi naik. Jadi, Ihtikar atau penimbunan barang adalah membeli sesuatu dengan jumlah besar, agar barang tersebut berkurang di pasar sehingga harganya (barang yang ditimbun tersebut) menjadi naik dan pada waktu harga menjadi naik baru kemudian dilepas (dijual) ke pasar, sehingga mendapatkan keuntungan yang berlipat ganda.
Secara esensi definisi di atas dapat dipahami bahwa ikhtikar  yaitu: Membeli barang ketika harga mahal,menyimpan barang tersebut sehingga kurang persediaannya di pasar. Kurangnya persediaan barang membuat permintaan naik dan harga juga naik. Penimbun menjual barang yang ditahannya  ketika harga telah melonjak. Penimbunan barang menyebabkan rusak nya mekanisme pasar.
Ikhtikar secara etimologis berarti menahan makanan agar harganya mahal. Adapun ikhtikar secara terminologis adalah jika seseorang membeli sesuatu pada saat harga mahal, kemudian ia menimbunnya untuk di jual pada harga lebih mahal ketika kebutuhan terhadap barang itu mendesak.[1]
Ikhtikar artinya menimbun barang agar yang beredar di masyarakat berkurang, lalu harganya naik. Yang menimbun memperoleh keuntungan besar, sedang masyarakat di rugikan. Menimbun dengan cara demikian haram hukumnya dalam islam. Rosulullah saw melarangnya, karena perbuatan demikian di dorong oleh nafsu serakah, loba dan tamak, serta mementingkan diri sendiri dengan merugikan orang banyak. Selain itu juga membuktikan kerendahan moral serta mental.[2]
B.       Dasar Hukum Ikhtikar
Islam mengharamkan orang menimbun dan mencegah harta dari peredaran. Islam mengancam mereka yang menimbunnya dengan siksa yang pedih di hari kiamat. Allah subhaanahu wa ta’aala berfirman dalm surat At Taubah ayat 34-35:

۞ يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِنَّ كَثِيرًا مِّنَ الْأَحْبَارِ وَالرُّهْبَانِ لَيَأْكُلُونَ أَمْوَالَ النَّاسِ بِالْبَاطِلِ وَيَصُدُّونَ عَن سَبِيلِ اللَّهِ ۗ وَالَّذِينَ يَكْنِزُونَ الذَّهَبَ وَالْفِضَّةَ وَلَا يُنفِقُونَهَا فِي سَبِيلِ اللَّهِ فَبَشِّرْهُم بِعَذَابٍ أَلِيمٍ
(Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya sebagian besar dari orang-orang alim Yahudi dan
rahib-rahib Nasrani benar-benar memakan) yakni mengambil (harta benda orang lain dengan cara yang batil) seperti menerima suap dalam memutuskan hukum (dan mereka menghalang-halangi) manusia (dari jalan Allah) dari agama-Nya. (Dan orang-orang) lafal ini menjadi mubtada/permulaan kata (yang menyimpan emas dan perak dan tidak menafkahkannya) dimaksud ialah menimbunnya (pada jalan Allah) artinya mereka tidak menunaikan hak zakatnya dan tidak membelanjakannya ke jalan kebaikan (maka beritahukanlah kepada mereka) beritakanlah kepada mereka (akan siksa yang pedih) yang amat menyakitkan. (34)
Pada ayat ini diterangkan bahwa kebanyakan pemimpin dan pendeta orang Yahudi dan Nasrani telah dipengaruhi oleh cinta harta dan pangkat. Karena itu mereka tidak segan-segan menguasai harta orang lain dengan jalan yang tidak benar dan dengan terang-terangan menghalang-halangi manusia beriman kepada agama yang dibawa oleh Nabi Muhammad saw. Sebab kalau mereka membiarkan pengikut mereka membenarkan dan menerima dakwah Islam tentulah mereka tidak dapat lagi bersikap sewenang-wenang terhadap mereka dan akan hilanglah pengaruh dan kedudukan yang mereka nikmati selama ini.


يَوْمَ يُحْمَىٰ عَلَيْهَا فِي نَارِ جَهَنَّمَ فَتُكْوَىٰ بِهَا جِبَاهُهُمْ وَجُنُوبُهُمْ وَظُهُورُهُمْ ۖ هَٰذَا مَا كَنَزْتُمْ لِأَنفُسِكُمْ فَذُوقُوا مَا كُنتُمْ تَكْنِزُون
(Pada hari dipanaskan emas dan perak itu dalam neraka Jahanam lalu disetrika) dibakar (dengannya dahi, lambung dan punggung mereka) bakaran emas-perak itu merata mengenai seluruh kulit tubuh mereka lalu dikatakan kepada mereka ("Inilah harta benda kalian yang kalian simpan untuk diri kalian sendiri, maka rasakanlah sekarang akibat dari apa yang kalian simpan itu") sebagai pembalasannya. (35)
Dalam ayat ini Allah menerangkan bahwa orang-orang yang mengumpulkan harta dan menyimpannya tanpa dinafkahkan sebagiannya pada jalan Allah (dibayarkan zakat) bagi orang mukmin akan dimasukkan ke dalam neraka pada hari akhirat dan di dalam neraka itu semua harta itu akan dipanaskan dengan api lalu disetrikakan pada dahi pemiliknya begitu pula lambung dan punggungnya, lalu diucapkan kepadanya inilah harta bendamu yang kamu simpan dahulu.
Asbabun nuzul ayat 34
Dari Ibnu Abbas, ia menerangkan bahwa ayat ini diturunkan berkenaan dengan para pendeta dari Ahli kitab. Mereka mengambil suap berupa makanan dari masyarakat awam. Sedangkan, pengunjang ayat ini diturunkan berkenaan dengan Ahli kitab dan kaum muslim yang menimbun harta mereka. (H.R Ibnu Abi Hatim).[3]

Nabi saw bersabda:
مَنِ احْتَكَرَ فَهُوَ خَاطِئٌ
“orang yang berbuat menimbun(ikhtikar) berarti berbuat salah”. (HR Muslim dan At-Turmudzi)
Kesimpulan hadis: bahwa perbuatan ikhtikar (menimbun barang) haram hukumnya.

C.       Pendapat Para Ulama
Ulama berbeda pendapat mengenai jenis barang yang ditimbun, yaitu :
 Ulama Malikiyah, sebagian Ulama Hanabilah, Abu Yusuf dan Ibn Abidin ( pakar fiqh Hanafi) menyatakan bahwa larangan ihtikar tidak terbatas pada makanan, pakaian dan hewan, tetapi meliputi seluruh produk yang diperlukan masyarakat. Menurut mereka, yang menjadi illat ( motifasi hukum ) dalam larangan melakukan ihtikar itu adalah “ kemudharatan yang menimpa orang banyak”. Oleh sebab itu kemudharatan yang menimpa orang banyak tidak terbatas pada makanan, pakaian dan hewan, tetapi mencakup seluruh produk yang diperlukan orang banyak.
Imam Asy Syaukani tidak merinci produk apa saja yang disimpan sehingga  seseorang dapat dikatakan sebagai muhtakir jika  barang itu untuk dijual ketika harga melonjak. Bahkan imam Syaukani tidak membedakan apakah penimbunan itu terjadi ketika pasar  berada dalam keadaan normal (pasar stabil), ataupun dalam keadaan pasar tidak stabil.
Sebagian ulama Hanabilah dan Imam al Ghazali mengkhususkan keharaman ihtikar pada jenis produk makanan saja. Alasan mereka karena yang dilarang dalam nash hanyalah makanan.
Sebagian ulama mempersempit larangan menimbun. Imam Syafii dan Imam Ahmad berpendapat, larangan menimbun hanya bagi bahan pangan sebab merupakan bahan pokok rakyat. Ada pula ulama yang memperluas larangan menimbun bagi segala macam barang, sebab ikhtikar mengakibatkan naiknya arga dan ini sikap yang tidak adil. Tetapi ada yang berpendapat, kalau hanya menimbun hasil panen sendiri atau barang hasil produksi sendiri maka tidak ada halangan. Pengertian menimbun mencakup pula hak monopoli perdagangan atau industry peroranagn sehinnga rakyat di rugikan.
Menimbun yang di haramkan, menurut kebanyakan ahli fiqih ialah bila memenuhi tiga kriteria:
  1. Barang yang ditimbun melebihi kebutuhannya dan kebutuhan keluarga untuk masa satu tahun penuh. Kita hanya boleh menyimpan barang untuk keperluan kurang dari satu tahun sebagaimana pernah dilakukan Rasulullah SAW.
  2. Menimbun untuk dijual, kemudian pada waktu harganya membumbung tinggi dan kebutuhan rakyat sudah mendesak baru dijual sehingga terpaksa rakyat membelinya dengan harga mahal.
  3. Yang ditimbun (dimonopoli) ialah kebutuhan pokok rakyat seperti pangan, sandang dan lain-lain. Apabila bahan-bahan lainnya ada di tangan banyak pedagang, tetatpi tidak termasuk bahan pokok kebutuhan rakyat dan tidak merugikan rakyat. maka itu tidak termasuk menimbun.
Syekh Mahmud Syaltut Almarhum dalam bukunya Min Taujihaatil Islam menulis:
“ Mereka tegolong penjahat karena manipulasi harga dengan menjual lebih dari harga umum, kerena megambil kesempatan memanfaatkan kebutuhan orang lain dan melakukan hal itu untuk memperoleh keuntungan sebanyak-banyaknya. Juga perbuatan yang diharamkan dan pelakunya tergolong penjahat bila mencampur barang dengan barang yang muunya lebih rendah atau mencampur susu dengan air supaya bertambah berat timbangannya”.[4]
D.      Hikmah Larangan Ikhtikar
Imam Nawawi menjelaskan hikmah dari larangan ikhtikar adalah mencegah hal-hal yang menyulitkan manusia secara umum, oleh karenanya para ulama sepakat apabila ada orang memiliki makanan lebih, sedangkan manusia sedang kelaparan dan tidak ada makanan kecuali yang ada pada orang tadi, maka waib bagi orang tersebut menjual atau memberikan dengan cuma-cuma makanannya kepada manusia supaya manusia tidak kesulitan. Demikian juga apabila ada yang menimbun selain bahan makanan(seperti pakaian musim dingin dan sebagainya) sehingga manusia kesulitan mendapatkannya, dan membahayakan mereka, maka hal ini dilarang dalam islam.[5]
Menimbun harta maksudnya membekukannya, menahannya dan menjauhkannya dari peredaran. Padahal, jika harta itu disertakan dalam usaha-usaha produktif seperti dalam perencanaan produksi, maka akan tercipta banyak kesempatan kerja yang baru dan mengurangi pengangguran. Kesempatan-kesempatan baru bagi pekerjaan ini bisa menambah pendapatan dan daya beli masyarakat sehingga bisa mendorong meningkatnya produksi, baik itu dengan membuat rencana-rencana baru maupun dengan memperluas rencana yang telah ada. Dengan demikian, akan tercipta situasi pertumbuhan dan perkembangan ekonomi dalam masyarakat.
Penimbunan barang merupakan halangan terbesar dalam pengaturan persaingan dalam pasar Islam. Dalam tingkat internasional, menimbun barang menjadi penyebab terbesar dari krisis yang dialami oleh manusia sekarang, yang mana beberapa negara kaya dan maju secara ekonomi memonopoli produksi, perdagangan, bahan baku kebutuhan pokok. Bahkan, negara-negara tersebut memonopoli pembelian bahan-bahan baku dari negara yang kurang maju perekonomiannya dan memonopoli penjulan komoditas industri yang dibutuhkan oleh negara-negara tadi. Hal itu menimbulkan bahaya besar terhadap keadilan distribusi kekayaan dan pendapatan dalam tingkat dunia.
Imam Nawawi menjelaskan hikmah dari larangan ikhtikar adalah mencegah hal-hal yang menyulitkan manusia secara umum, oleh karenanya para ulama sepakat apabila ada orang memiliki makanan lebih, sedangkan manusia sedang kelaparan dan tidak ada makanan kecuali yang ada pada orang tadi, maka waib bagi orang tersebut menjual atau memberikan dengan cuma-cuma makanannya kepada manusia supaya manusia tidak kesulitan. Demikian juga apabila ada yang menimbun selain bahan makanan(seperti pakaian musim dingin dan sebagainya) sehingga manusia kesulitan mendapatkannya, dan membahayakan mereka, maka hal ini dilarang dalam islam.





KESIMPULAN

Ikhtikar secara etimologis berarti menahan makanan agar harganya mahal. Adapun ikhtikar secara terminologis adalah jika seseorang membeli sesuatu pada saat harga mahal, kemudian ia menimbunnya untuk di jual pada harga lebih mahal ketika kebutuhan terhadap barang itu mendesak.
Islam mengharamkan orang menimbun dan mencegah harta dari peredaran. Islam mengancam mereka yang menimbunnya dengan siksa yang pedih di hari kiamat.
Menimbun yang di haramkan, menurut kebanyakan ahli fiqih ialah bila memenuhi tiga kriteria:
  1. Barang yang ditimbun melebihi kebutuhannya dan kebutuhan keluarga untuk masa satu tahun penuh. Kita hanya boleh menyimpan barang untuk keperluan kurang dari satu tahun sebagaimana pernah dilakukan Rasulullah SAW.
  2. Menimbun untuk dijual, kemudian pada waktu harganya membumbung tinggi dan kebutuhan rakyat sudah mendesak baru dijual sehingga terpaksa rakyat membelinya dengan harga mahal.
  3. Yang ditimbun (dimonopoli) ialah kebutuhan pokok rakyat seperti pangan, sandang dan lain-lain. Apabila bahan-bahan lainnya ada di tangan banyak pedagang, tetatpi tidak termasuk bahan pokok kebutuhan rakyat dan tidak merugikan rakyat. maka itu tidak termasuk menimbun.










DAFTAR PUSTAKA

Dr. Mardani. 2011. Ayat- Ayat dan Hadis Ekonomi Syariah. (Jakarta:Rajawali Pers)
Basyarahl, Salim, H.A. Aziz. 1992. 22 Masalah Agama. (Jakarta: Gema insani Pres)
AL-HAKAM Al-Quran Tafsi Perkata. 2014. (Jakarta: PT Suara Agung)
Ali, Muhammad, Edisi 7 Th.ke-7 1429 H, e-book Hukum Menimbun Barang Dagangan, (Gresik:Al-Furqon)




[1] Dr. Mardani, 2011, Ayat- Ayat dan Hadis Ekonomi Syariah, (Jakarta:Rajawali Pers), hal. 198
[2] H.A. Aziz Salim Basyarahl, 1992, 22 Masalah Agama, (Jakarta: Gema insani Pres)hal.56

[3] AL-HAKAM Al-Quran Tafsi Perkata, 2014,(Jakarta: PT Suara Agung), hal.193
[4]  H.A. Aziz Salim Basyarahl, 1992, 22 Masalah Agama, (Jakarta: Gema insani Pres) hal.57-58
[5] Muhammad Ali, Edisi 7 Th.ke-7 1429 H, e-book Hukum Menimbun Barang Dagangan, (Gresik:Al-Furqon) hal.10

Tidak ada komentar:

Posting Komentar