Sabtu, 05 November 2016

PENGERTIAN KONSUMSI DALAM ISLAM

BAB I
PENDAHULUAN
Setiap insan yang hidup di dunia selalu melakukan aktifitas perekonomian terutama aktifitas konsumsi. Aktifitas konsumsi tidak akan pernah lepas dari kehidupan kita sehari hari. Konsumsi ini pun dilakukan atas dasar kebutuhan dan keinginan yang melihat pada pendapatan setiap masing-masing individunya. Semakin tinggi pendapatan maka semakin tinggi pula tingkat konsumsinya walau mungkin banyak hal belum terlalu perlu dikonsumsi.
Terlihat dari pendapat yang diungkapkan oleh james desenbery bahwa memang tingkat konsumsi masyarakat tergantung dari pendapatannya bahkan konsumen tidak akan mengurangi konsumsinya untuk mempertahankan tingkat konsumsi yang tinggi, inilah yang diajarkan dalam teori konvensional bahwa ketika kita mengkonsumsi sesuatu bagaimana kita dapat memperoleh keinginan dan kepuasan yang kita harapkan walau itu bisa saja medzalimi orang lain karena sikap berlebih-lebihan.
Dalam Islam hal transaksi ekonomipun diatur terutama dalam hal konsumsi karena apa-apa yang dianugerahkan kepada Allah di muka bumi ini adalah anugerah terindah yang harus dimanfaatkan oleh setiap umat guna menuju kesejahteraan atau falah. Bukan berlebih-lebihan dalam berkonsumsi walaupun kita mempunyai pendapatan yang banyak sebagaimana diatur dalam Al Quran;
”Makan dan minumlah, namun janganlah berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah itu tidak menyukai orang-orang yang berlebih-lebihan” ( Q.S 7: 31).
Jelaslah bahwa ketika kita berkonsumsi pun tidak layak untuk berlebih-lebihan. Dalam ekonomi Islam hendaknya setiap transaksi perekonomian terutama transaksi konsumsi, bagaimana transaksi-transaksi tersebut dapat mendekatkan diri kepada Allah. Bukan hanya keinginan hawa nafsu yang dperturutkan ketika kita mengkonsumsi barang karena dalam pendapatan kita pun ada hak-hak orang lain.
Oleh karena itu, mengingat pentingnya konsumsi dalam ekonomi Islam, maka kami mencoba membahasnya dalam makalah ini.


BAB II
PEMBAHASAN
A.    Pengertian Konsumsi dalam Islam
Pengertian konsumsi dalam ekonomi Islam adalah memenuhi kebutuhan baik jasmani maupun rohani sehingga mampu memaksimalkan fungsi kemanusiaannya sebagai hamba Allah SWT untuk mendapatkan kesejahteraan atau kebahagiaan di dunia dan akhirat (falah). Dalam melakukan konsumsi maka prilaku konsumen terutama Muslim selalu dan harus di dasarkan pada Syariah Islam. Dasar prilaku konsumsi itu antara lain :
1.      Al Qur’an surat Al-Maidah (87-88) yang artinya “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengharamkan apa-apa yang baik yang telah Allah halalkan bagi kamu, dan janganlah melampaui batas. Dan makanlah yang halal lagi baik dari apa yang Allah telah  rezekikan kepadamu, dan bertaqwalah kepada Allah yang kamu beriman kepada-Nya”.
2.      Al Qur’an surat al Isra’ ayat 27-28 yang artinya “Sesungguhnya pemboros-pemboros itu adalah saudara-saudara syaitan dan syaitan itu adalah sangat ingkar kepada Tuhannya.  Dan jika kamu berpaling dari mereka untuk memperoleh rahmat dari Tuhanmu yang kamu harapkan, maka katakanlah kepada mereka ucapan yang pantas”.
3.      Hadist yang menyatakan “Makanlah sebelum lapar dan berhentilah sebelum kenyang” Hadist ini menerangkan bahwa Islam mengajarkan pada manusia untuk menggunakan barang dan jasa yang dibutuhkan secukupnya (hemat) tidak rakus atau serakah sebab keserakahanlah yang menghancurkan bumi ini.
Berdasarkan ayat Al Qur’an dan Hadist di atas dapat dijelaskan bahwa yang dikonsumsi itu adalah barang atau jasa yang halal, bermanfaat, baik, hemat dan tidak berlebih-lebihan (secukupnya). Tujuan mengkonsumsi dalam Islam adalah untuk memaksimalkan maslahah, (kebaikan) bukan memaksimalkan kepuasan (maximum utility)[1] seperti di dalam ekonomi konvensional. Utility merupakan kepuasan yang dirasakan seseorang yang bisa jadi kontradiktif dengan kepentingan orang lain. Sedangkan maslahah adalah kebaikan yang dirasakan seseorang bersama pihak lain.
Dalam memenuhi kebutuhan, baik itu berupa barang maupun dalam bentuk jasa  atau konsumsi, dalam ekonomi Islam harus menurut syariat Islam. Konsumsi dalam Islam bukan berarti “memenuhi” keinginan libido saja, tetapi harus disertai dengan “niat” supaya bernilai ibadah. Dalam Islam, manusia bukan homo economicus tapi homo Islamicus. Homo Islamicus yaitu manusia ciptaan Allah SWT yang harus melakukan segala sesuatu sesuai dengan syariat Islam, termasuk prilaku konsum-sinya.
Dalam ekonomi Islam semua aktivitas manusia yang bertujuan untuk kebaikan merupakan ibadah, termasuk konsumsi. Karena itu menurut Yusuf Qardhawi (1997), dalam melakukan konsumsi, maka konsumsi tersebut harus dilakukan pada barang yang halal dan baik dengan cara berhemat (saving), berinfak (mashlahat) serta men-jauhi judi, khamar, gharar dan spekulasi. Ini berarti bahwa prilaku konsumsi yang dilakukan manusia (terutama Muslim) harus menjauhi kemegahan, kemewahan, kemubadziran dan menghindari hutang. Konsumsi yang halal itu adalah konsumsi terhadap barang yang halal, dengan proses yang halal dan cara yang halal, sehingga akan diperoleh manfaat dan berkah.
Parameter kepuasan seseorang (terutama Muslim) dalam hal konsumsi tentu saja parameter dari definisi manusia terbaik yang mempunyai keimanan yang tinggi, yaitu memberikan kemanfaatan bagi lingkungan. Manfaat lingkungan ini merupakan amal shaleh. Artinya dengan mengkonsumsi barang dan jasa selain mendapat manfaat dan berkah untuk pribadi juga lingkungan tetap terjaga dengan baik bukan sebaliknya. Lingkungan disini menyangkut masyarakat dan alam. Menyangkut masyarakat, maka setiap Muslim dalam mengkonsumsi tidak hanya memperhatikan kepentingan pribadi tetapi juga kepentingan orang lain, tetangga, anak yatim dan lain sebagainya.
Mengkonsumsi barang dan jasa merupakan asumsi yang given karena sekedar ditujukan untuk dapat hidup dan beraktifitas. Maksudnya bahwa konsumsi dilakukan agar manusia tetap hidup, bukan hidup untuk mengkonsumsi. Dalam memenuhi tuntutan konsumsi, setiap orang diminta untuk tetap menjaga adab-adab Islam dan melihat pengaruhnya terhadap kesejahteraan masa depan.
Islam melarang umatnya melakukan konsumsi secara berlebihan. Sebab konsumsi diluar dari tingkat kebutuhan adalah pemborosan. Pemborosan adalah perbuatan yang sia-sia dan menguras sumber daya alam secara tidak terkendali. Sebagai contoh, apabila prilaku konsumsi seseorang bersifat boros, misalnya saja pada saat makan seseorang masih menyisakan makanannya sekitar 15% dari yang dikonsumsinya. Sisa tersebut dianggap setara dengan 5 gram beras dan jika dari 6,5 milyar penduduk dunia ternyata 5% saja melakukan hal yang demikian, maka sisa makanan yang terbuang sia-sia per hari nya yaitu sekitar 5 gram x 2 kali makan sehari x (0,05 x 3,25 milyar) = 16.250 ton beras. Artinya makanan yang terbuang sia-sia per hari adalah 16.250 ton dan dalam setahun sebanyak 5,850 juta ton setara beras. Selain itu berapa banyak tenaga yang terbuang sia-sia, termasuk energi lain yang dibutuhkan untuk memproduksi makan yang terbuang tadi. Dengan demikian jelas bahwa pemborosan akan mempercepat kehancuran bumi ini.
Seorang muslim sejati, meskipun memiliki sejumlah harta, ia tidak akan memanfaatkannya sendiri, karena dalam Islam setiap muslim yang mendapat harta diwajib-kan untuk mendistribusikan kekayaan pribadinya itu kepada masyarakat yang membutuhkan (miskin) sesuai dengan aturan syariah yaitu melalui Zakat, Infak,  Sedekah dan Wakaf (ZISWA). Masyarakat yang tidak berpunya atau miskin berhak untuk menerima ZISWA tersebut sebagai bentuk distribusi kekayaan. Intinya bahwa tingkat konsumsi seseorang itu (terutama Muslim) didasarkan pada tingkat pendaapatan dan keimanan. Semakin tinggi pendapatan dan keimanan sesorang maka semakin tinggi pengeluarannya untuk hal-hal yang bernilai ibadah sedangkan pengeluaran untuk memenuhi kebutuhan dasar tidak akan banyak pertambahannya bahkan cenderung turun.












B.     Perilaku Terhadap Konsumen
Perilaku konsumen adalah kecenderungan konsumen dalam melakukan konsumsi, untuk memaksimalkan kepuasanya. Konsumen mencapai keseimbanganya ketika dia memaksimalkan pemanfaatanya sesuai dengan keterbatasan penghasilan, yakni: ketika rasio-rasio pemanfaatan-pemanfaatan marginal dari berbagai komoditas sama dengan rasio-rasio harga-harga uangnya masing-masing.[2]
Dalam paradigma ekonomi konvensional perilaku konsumen didasari pada prinsip-prinsip dasar utilitarianisme dan rasionalitas semata. Prinsip ini menuntut adanya perkiraan dan pengetahuan mengenai akibat yang dilakukan.Prinsip ini mendorong konsumen untuk memaksimalkan nilai guna dengan usaha yang paling minimal dengan melupakan nilai-nilai kemanusian. Akibatnya tercipta individualisme dan self interest. Maka keseimbangan umum tidak dapat dicapai dan terjadilah kerusakan dimuka bumi.[3]
Berbeda dengan Islam yang mengingatkan bahwa harta yang dimiliki manusia adalah titipan Allah, bukan tujuan namun sarana yang digunakan untuk memenuhi kebutuhan manusia baik jasmani dan rohani sehingga mampu memaksimalkan fungsi kemanusiaannya sebagai hamba dan khalifah Allah untuk menggapai kebahagiaan dunia dan akhirat (Q.S Al-Hadid : 7, Hud : 61) .
Perilaku konsumen Islami didasarkan atas rasionalitas yang disempurnakan dan mengintegrasikan keyakinan dan kebenaran yang melampaui rasionalitas manusia yang sangat terbatas berdasarkan Alquran dan Sunnah. Islam memberikan konsep pemuasan kebutuhan dibarengi kekuatan moral, ketiadaan tekanan batin dan adanya keharmonisan hubungan antara sesama. 
Ekonomi Islam bukan hanya berbicara tentang pemuasan materi yang bersifat fisik, tapi juga berbicara cukup luas tentang pemuasan materi yang bersifat abstrak, pemuasan yang lebih berkaitan dengan posisi manusia sebagai hamba Allah SWT.



Dapat kita simpulkan Perilaku konsumen dalam ekonomi islam diantaranya harus meliputi : 
1.      Prinsip syariah, yaitu menyangkut dasar syariat yang harus terpenuhi dalam melakukan konsumsi di mana terdiri dari: Prinsip akidah, yaitu hakikat konsumsi adalah sebagai sarana ketaatan untuk beribadah sebagai perwujudan keyakinan manusia sebagai makhluk dan khalifah yang nantinya diminta pertanggungjawaban oleh Pencipta. (QS. Al-An’am : 165). Prinsip ilmu, yaitu seseorang ketika akan mengkonsumsi harus mengetahui ilmu tentang barang yang akan dikonsumsi dan hukum-hukum yang berkaitan dengannya apakah merupakan sesuatu yang halal atau haram baik ditinjau dari zat, proses, maupun tujuannya. Prinsip amaliah, sebagai konsekuensi akidah dan ilmu yang telah diketahui tentang konsumsi Islami tersebut, seseorang dituntut untuk menjalankan apa yang sudah diketahui, maka dia akan mengkonsumsi hanya yang halal serta menjauhi yang haram dan syubhat. 
2.      Prinsip kuantitas, yaitu sesuai dengan batas-batas kuantitas yang telah dijelaskan dalam syariat Islam, di antaranya: Sederhana, yaitu mengkonsumsi secara proporsional tanpa menghamburkan harta, bermewah-mewah, mubazir, namun tidak juga pelit (QS. Al-Isra: 27-29, Al-A’raf:31). Sesuai antara pemasukan dan pengeluaran, artinya dalam mengkonsumsi harus disesuaikan dengan kemampuan yang dimilikinya, bukan besar pasak daripada tiang. Menabung dan investasi, artinya tidak semua kekayaan digunakan untuk konsumsi tapi juga disimpan untuk kepentingan pengembangan kekayaan itu sendiri
3.      Prinsip prioritas, di mana memperhatikan urutan kepentingan yang harus diprioritaskan agar tidak terjadi kemudharatan, yaitu: Primer, adalah konsumsi dasar yang harus terpenuhi agar manusia dapat hidup dan menegakkan kemaslahatan dirinya dunia dan agamanya serta orang terdekatnya, seperti makanan pokok. Sekunder, yaitu konsumsi untuk menambah atau meningkatkan tingkat kualitas hidup yang lebih baik, jika tidak terpenuhi maka manusia akan mengalami kesusahan. Tersier, yaitu konsumsi pelengkap manusia. 
4.      Prinsip sosial, yaitu memperhatikan lingkungan sosial di sekitarnya sehingga tercipta keharmonisan hidup dalam masyarakat, di antaranya:Kepentingan umat, yaitu saling menanggung dan menolong sehingga Islam   mewajibkan zakat bagi yang mampu juga menganjurkan sadaqah, infaq dan wakaf. Keteladanan, yaitu memberikan contoh yang baik dalam berkonsumsi  baik dalam keluarga atau masyarakat . Tidak membahayakan orang yaitu dalam mengkonsumsi justru tidak merugikan dan memberikan madharat ke orang lain seperti merokok di tempat umum.[4]



C.     Prinsip Konsumsi dalam Islam
Menurut Islam, anugerah-anugerah Allah adalah milik semua manusia. Suasana yang menyebabkan sebagian diantara anugerah-anugerah itu berada di tangan orang-orang tertentu tidak berarti bahwa mereka dapat memanfaatkan anugerah-anugerah itu untuk mereka sendiri. Orang lain masih berhak atas anugerah-anugerah tersebut walaupun mereka tidak memperolehnya. Dalam Al-Qur`an Allah SWT mengutuk dan membatalkan argument yang dikemukakan oleh orang kaya yang kikir karena ketidaksediaan mereka memberikan bagian atau miliknya ini.[5]
Bila dikatakan kepada mereka, “ belanjakanlah sebagian rizqi Allah yang diberikan-Nya kepadamu,” orang-orang kafir itu berkata, “ apakah kami harus memberi makan orang-orang yang jika Allah menghendaki akan diberi-Nya makan? Sebenarnya kamu benar-benar tersesat.” ( QS 36 : 47 )
Dalam Ekonomi Islam, konsumsi diakui sebagai salah satu perilaku ekonomi dan kebutuhan asasi dalam kehidupan manusia. Perilaku konsumsi diartikan sebagai setiap perilaku seorang konsumen untuk menggunakan dan memanfaatkan barang dan jasa untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Namun Islam memberikan penekanan bahwa fungsi perilaku konsumsi adalah untuk memenuhi kebutuhan manusia baik jasmani dan ruhani sehingga mampu memaksimalkan fungsi kemanusiaannya sebagai hamba dan khalifah Allah untuk mendapatkan kebahagiaan dunia dan akherat.[6]
Dalam ekonomi Islam konsumsi dikendalikan oleh lima prinsip dasar sebagai berikut :
1.         Prinsip Keadilan.
Syarat ini mengandung arti ganda bahwa rezeki yang dikonsumsi haruslah yang halal dan tidak dilarang hukum. Misalnya dalam soal makanan dan minuman, yang terlarang adalah darah, daging binatang yang telah mati sendiri, daging babi, daging binatang yang ketika disembelih diserukan nama selain nama Allah, ( Q.S Al- Baqarah 2 : 173 ). Tiga golongan pertama dilarang karena hewan-hewan ini berbahaya bagi tubuh sebab yang berbahaya bagi tubuh tentu berbahaya pula bagi jiwa. Larangan terakhir berkaitan dengan segala sesuatu yang langsung membahayakan moral dan spiritual, karena seolah-olah hal ini sama dengan mempersekutukan tuhan. Kelonggaran diberikan bagi orang-orang yang terpaksa, dan bagi orang yang pada suatu ketika tidak mempunyai makanan untuk dimakan. Ia boleh makan makanan yang terlarang itu sekedar yang dianggap perlu untuk kebutuhannya ketika itu saja.
2.         Prinsip Kebersihan.
Obyek konsumsi haruslah sesuatu yang bersih dan bermanfaat. Yaitu sesuatu yang baik, tidak kotor, tidak najis, tidak menjijikkan, tidak merusak selera, serta memang cocok untuk dikonsumsi manusia.
3.         Prinsip Kesederhanaan.
Konsumsi haruslah dilakukan secara wajar, proporsional, dan tidak berlebih-lebihan. Prinsip-prinsip tersebut tentu berbeda dengan ideologi kapitalisme dalam berkonsumsi yang menganggap konsumsi sebagai suatu mekanisme untuk menggenjot produksi dan pertumbuhan. Semakin banyak permintaan maka semakin banyak barang yang diproduksi. Disinilah kemudian timbul pemerasan, penindasan terhadap buruh agar terus bekerja tanpa mengenal batas waktu guna memenuhi permintaan. Dalam Islam justru berjalan sebaliknya: menganjurkan suatu cara konsumsi yang moderat, adil dan proporsional. Intinya, dalam Islam konsumsi harus diarahkan secara benar dan proporsional, agar keadilan dan kesetaran untuk semua bisa tercipta.
4.         Prinsip kemurahan hati.
Makanan, minuman, dan segala sesuatu halal yang telah disediakan Tuhan merupakan bukti kemurahan-Nya. Semuanya dapat kita konsumsi dalam rangka kelangsungan hidup dan kesehatan yang lebih baik demi menunaikan perintah Tuhan. Karenanya sifat konsumsi manusia juga harus dilandasi dengan kemurahan hati. Maksudnya, jika memang masih banyak orang yang kekurangan makanan dan minuman maka hendaklah kita sisihkan makanan yang ada pada kita kemudian kita berikan kepada mereka yang sangat membutuhkannya.
5.         Prinsip moralitas.
Kegiatan konsumsi itu haruslah dapat meningkatkan atau memajukan nilai-nilai moral dan spiritual. Seorang muslim diajarkan untuk menyebutkan nama Allah sebelum makan, dan menyatakan terimakasih setelah makan adalah agar dapat merasakan kehadiran ilahi pada setiap saat memenuhi kebutuhan fisiknya. Hal ini penting artinya karena Islam menghendaki perpaduan nilai-nilai hidup material dan spiritual yang berbahagia.[7]








BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
Pengertian konsumsi dalam ekonomi Islam adalah memenuhi kebutuhan baik jasmani maupun rohani sehingga mampu memaksimalkan fungsi kemanusiaannya sebagai hamba Allah SWT untuk mendapatkan kesejahteraan atau kebahagiaan di dunia dan akhirat (falah).
Berdasarkan ayat Al Qur’an dan Hadist di atas dapat dijelaskan bahwa yang dikonsumsi itu adalah barang atau jasa yang halal, bermanfaat, baik, hemat dan tidak berlebih-lebihan (secukupnya).
Perilaku konsumen adalah kecenderungan konsumen dalam melakukan konsumsi, untuk memaksimalkan kepuasanya. Perilaku konsumen dalam ekonomi islam diantaranya harus meliputi : Prinsip syariah, prinsip kuantitas, prinsip prioritas, prinsip sosial. Dalam ekonomi Islam konsumsi dikendalikan oleh lima prinsip dasar sebagai berikut : Prinsip keadilan, prinsip kebersihan, prinsip kesederhanaan, prinsip kemurahan hati dan priinsip moralitas.

B.     Saran
Dalam makalah ini, penulis menyadari bahwa masih banyak kekurangan yang terdapat dalam isi makalah ini. Oleh karena itu penulis sangat mengharapkan saran dari pembaca agar makalah ini bisa sempurna dengan arahan dan bimbingan dari pembaca.
Semoga makalah ini dapat menambahkan pengetahuan bagi kita semua dan apa yang diperoleh bermanfaat bagi kita semua.



DAFTAR PUSTAKA

Mannan. 1997.Teori dan Praktek Ekonomi Islam.(Yogyakarta: Dana Bhakti Prima Yasa)
Nasution Edwin. 2010. Pengenalan Ekslusif Ekonomi Islam.(Jakarta: Kencana Prenada Media Group)
Pusat Pengkajian dan Pengembangan Ekonomi Islam (P3EI). Ekonomi Islam.(Jakata: Rajawali Pers)
Rianto Nur. 2011.Dasar-dasar Ekonomi Islam. (Solo: PT. Era Adicitra Intermedia)
Solihan Asmuni. 2010. Fikih Ekonomi Umar bin AI-Kaththab.(Jakarta:Khalifa)
Suprayitno Eko. 2005.Ekonomi Islam. (Yogyakarta: Graha Ilmu)



[1] Pusat Pengkajian dan pengembangan Ekonomi Islam (P3EI) UII. 2008. Ekonomi Islam.(Jakarta:
PT Rajagrafindo Persada)
[2] Nur Rianto, Dasar-dasar Ekonomi Islam, (Solo: PT. Era Adicitra Intermedia, 2011), hlm 14
[3] Edwin Nasution, Pengenalan Ekslusif Ekonomi Islam, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2010), hlm 61
[4] Asmuni Solihan ,Fikih Ekonomi Umar bin AI-Kaththab, (Jakarta: Khalifa, 2010), hlm 182-185
[5] Eko Suprayitno, Ekonomi Islam,( Yogyakarta: Graha Ilmu, 2005), hlm 92
[6] Mannan, Teori dan Praktek Ekonomi Islam, (Yogyakarta: Dana Bhakti Prima Yasa, 1997), hlm. 44.
[7] Eko Suprayitno, Ekonomi Islam, (Yogyakarta: Graha Ilmu, 2005), hlm 93-94

1 komentar:

  1. Ass wr wb
    mbak hanik mnta ilmu nya buat refrensi
    insyallah berkah

    BalasHapus